
Saya telah memperhatikan bahwa banyak perusahaan fokus pada pemberian paket gaji yang besar untuk menarik eksekutif puncak, tetapi sering kali lupa pada pentingnya kepatuhan pajak yang melindungi reputasi dan keberlanjutan bisnis.
Bagi Anda, para Direktur HR, CEO, dan pimpinan keuangan, besaran pajak PPh 21 bukan sekadar angka pada slip gaji melainkan sebuah indikator penting dari tata kelola perusahaan yang baik. Jika Anda ingin memahami bagaimana mengelola kompensasi eksekutif secara strategis dan taat pajak, saya perlu memandu Anda melalui beberapa hal kunci terlebih dahulu mengenai Pajak Penghasilan Pasal 21.
Sebagai konsultan eksekutif, Luminare Consulting kerap melihat adanya kesenjangan antara strategi kompensasi dan kepatuhan pajak, yang pada akhirnya menimbulkan risiko hukum dan reputasi yang tidak perlu.
Ketidakpatuhan dalam perhitungan PPh 21 dapat berujung pada denda yang signifikan dan merusak citra perusahaan di mata regulator maupun talenta berkualitas. Memahami seluk-beluk PPh 21 adalah sebuah keharusan.

Apa yang Akan Anda Temukan:
Sebelum merancang strategi kompensasi, saya pikir sangat penting bagi kita untuk memiliki pemahaman yang kuat tentang fundamental Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21). PPh Pasal 21 adalah jenis pajak yang dikenakan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Ini mencakup gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Lingkupnya luas, mencakup karyawan tetap, pegawai tidak tetap, hingga jajaran direksi dan komisaris sebagai penerima penghasilan.
Memasuki awal tahun 2024, pemerintah telah menerbitkan peraturan baru untuk menyederhanakan mekanisme perhitungan PPh. Menurut artikel dari Direktorat Jenderal Pajak (2024), Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 memperkenalkan skema perhitungan pajak penghasilan yang lebih mudah menggunakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER).
Pendekatan terbaru ini dirancang untuk memudahkan pemberi kerja sebagai pemotong pajak dalam menghitung PPh 21 setiap masa pajak, meskipun perhitungan dengan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh masih akan digunakan pada akhir tahun untuk menentukan total pajak terutang setahun.
Proses penghitungan PPh 21 dimulai dari penentuan penghasilan bruto, yaitu total pendapatan yang diterima karyawan. Dari sana, dikurangi biaya-biaya yang diperkenankan seperti biaya jabatan dan iuran pensiun atau jaminan hari tua, kemudian dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak.
Status PTKP seorang Wajib Pajak ditentukan oleh status perkawinan (kawin atau tidak) dan jumlah tanggungan di awal tahun pajak. Per 2025, status kena pajak PTKP yang umum adalah TK/0 (tidak kawin, tanpa tanggungan) sebesar Rp 54.000.000, dan K/0 (kawin, tanpa tanggungan) sebesar Rp 58.500.000. Tarif pajak yang dikenakan bersifat progresif, artinya semakin besar Penghasilan Kena Pajak, semakin tinggi pula lapisan tarif pajaknya.
| Perbandingan Tarif PPh 21 (Berdasarkan UU HPP) |
| Lapisan Penghasilan Kena Pajak (Tahunan) |
| 0 - 60 juta: 5% |
| >60 juta - 250 juta: 15% |
| >250 juta - 500 juta: 25% |
| >500 juta - 5 miliar: 30% |
| >5 miliar: 35% |
| Ketentuan Terbaru (Efektif per 1 Januari 2024) |
| - Perhitungan bulanan (Jan-Nov) menggunakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) berdasarkan PTKP (Kategori A, B, C). |
| - Perhitungan tahunan (Desember) menggunakan tarif progresif di atas untuk menghitung ulang total PPh 21 setahun dan melakukan penyesuaian pembayaran. |
Untuk konteks eksekutif, perhitungan PPh ini menjadi lebih kompleks. Insentif seperti bonus tahunan, tunjangan natura (fasilitas), dan opsi saham sering kali dikenakan perlakuan pajak yang berbeda, sehingga memerlukan pemahaman mendalam agar tidak terjadi salah dalam perhitungan pajak penghasilan pasal 21.
Ketika saya menganalisis struktur kompensasi eksekutif, menjadi jelas bahwa kompleksitasnya adalah tantangan utama dalam penghitungan PPh 21.
Penghasilan seorang eksekutif tidak hanya terdiri dari gaji pokok, tetapi juga berbagai komponen lain seperti tunjangan natura, bonus tahunan yang variabel, hingga stock option yang memiliki aturan perpajakan tersendiri. Setiap komponen ini memiliki potensi risiko kesalahan klasifikasi yang dapat berdampak pada perhitungan PPh yang harus dibayar.
Salah satu risiko yang sering saya temui adalah kesalahan dalam mengklasifikasikan mana komponen gaji yang merupakan objek PPh Pasal 21 dan mana yang bukan. Apalagi, dengan adanya peraturan terbaru yang menyatakan bahwa sebagian besar natura atau kenikmatan kini menjadi objek pajak, perusahaan harus lebih berhati-hati dalam menghitung PPh 21.
Kesalahan dalam perhitungan tidak hanya merugikan perusahaan secara finansial karena potensi denda dari kantor pajak, tetapi juga dapat berdampak pada kepuasan eksekutif dan merusak citra perusahaan sebagai pemberi kerja yang kompeten. Ini adalah tantangan besar dalam manajemen pajak penghasilan pasal 21.
Sebagai contoh, bayangkan sebuah studi mini kasus: Perusahaan A memberikan paket remunerasi yang sangat menarik kepada direksi barunya, termasuk fasilitas mobil mewah dan apartemen. Tim HR, yang belum sepenuhnya memahami peraturan PPh 21 terbaru, gagal memasukkan nilai fasilitas tersebut ke dalam perhitungan penghasilan bruto bulanan.
Akibatnya, PPh 21 yang dipotong dan dibayarkan setiap bulannya lebih rendah dari yang seharusnya. Di akhir tahun, saat pemeriksaan pajak, ditemukan ketidaksesuaian ini, dan perusahaan dikenakan denda besar serta tunggakan pajak yang harus dilunasi.
Kejadian seperti ini tidak hanya merugikan secara finansial (uang), tetapi juga menciptakan ketidakpercayaan antara eksekutif dan perusahaan.
Yang saya temukan menarik adalah bagaimana dampak nyata dari isu PPh ini sebenarnya memengaruhi persepsi. “Ketepatan PPh 21 bukan sekadar kepatuhan, melainkan sinyal kredibilitas manajemen terhadap regulator dan kandidat eksekutif senior.”
Ketika sebuah perusahaan menunjukkan ketelitian dalam urusan perpajakan, itu mengirimkan pesan kuat tentang integritas dan profesionalisme organisasi dalam mengelola pajak.

Dari pengalaman saya, pendekatan reaktif terhadap PPh Pasal 21 sering kali menimbulkan masalah. Sebaliknya, strategi proaktif yang mengintegrasikan perencanaan pajak ke dalam desain kompensasi adalah kuncinya.
Pertama, saya merekomendasikan penggunaan perencanaan kompensasi berbasis total reward. Alih-alih melihat gaji, bonus, dan tunjangan sebagai elemen terpisah, pandanglah sebagai satu kesatuan paket.
Ini membantu Anda merancang struktur gaji dan tunjangan yang lebih transparan terhadap PPh 21. Dengan memetakan semua komponen penghasilan dan potensi pajak-nya sejak awal, Anda dapat menghindari kejutan yang tidak menyenangkan bagi pegawai eksekutif maupun perusahaan.
Kedua, sangat penting untuk melakukan konsultasi secara rutin antara tim HR, keuangan, dan konsultan pajak eksternal. Peraturan perpajakan, terutama yang berkaitan dengan PPh, bersifat dinamis.
Saya menemukan sebuah berita dari DDTCNews (2024) yang menyoroti bagaimana ketentuan tarif efektif PPh Pasal 21 mulai berlaku pada Januari 2024, yang mengubah cara pemotongan pajak bulanan. Tanpa panduan ahli, mudah sekali bagi perusahaan untuk melewatkan pembaruan krusial seperti ini dan terus menggunakan metode perhitungan pajak yang sudah usang.
Ketiga, berikan perhatian khusus pada pengelolaan natura. Sejak tahun 2025, banyak fasilitas seperti rumah dan kendaraan dianggap sebagai objek pajak. Ini berarti perusahaan perlu menilai nilai pasar wajar dari fasilitas tersebut dan memasukkannya ke dalam penghitungan penghasilan bruto.
Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan beban pajak bagi karyawan tanpa melanggar peraturan yang berlaku. Proses pembayaran pajak harus sesuai.
Dalam proses rekrutmen eksekutif, diskusi mengenai kompensasi sering kali menjadi momen yang krusial. Namun, saya telah menemukan bahwa banyak headhunter hanya fokus pada angka nominal gaji tanpa memahami implikasi PPh 21 yang lebih dalam.
Di sinilah peran seorang konsultan eksekutif yang berpengetahuan luas menjadi sangat berharga. Seorang headhunter yang memahami konteks PPh 21 dapat membantu perusahaan merancang paket gaji eksekutif yang tidak hanya kompetitif tetapi juga realistis dan patuh hukum sejak awal. Perhitungan PPh 21 yang akurat menjadi dasar penawaran.
Di Luminare Consulting, kami menerapkan consultative search approach. Ini berarti kami tidak hanya mencari kandidat, tetapi juga bertindak sebagai penasihat strategis bagi klien kami. Kami memastikan bahwa baik kandidat maupun perusahaan memiliki pemahaman yang sama mengenai dampak pajak dari setiap komponen dalam paket penawaran.
Dengan demikian, kami membantu mencegah potensi kesalahpahaman atau kekecewaan di kemudian hari. Kolaborasi yang erat antara tim HR, pimpinan perusahaan, dan konsultan eksekutif seperti kami dapat menghasilkan kesepakatan yang adil, transparan, dan berkelanjutan bagi kedua belah pihak.
Saya menemukan bahwa proses ini membangun fondasi kepercayaan yang kuat sejak awal hubungan kerja.
Sebagai pendiri Luminare Consulting, saya percaya bahwa pencarian eksekutif harus melibatkan pemahaman mendalam atas kompensasi, budaya, dan kepatuhan pajak. Misi kami adalah membantu organisasi tidak hanya menemukan pemimpin yang tepat, tetapi juga memastikan mereka dihargai dengan cara yang mencerminkan integritas dan ketaatan pada peraturan pajak dan PPh.
Setelah memecah berbagai aspek PPh 21, saya harap menjadi jelas bahwa besaran pajak PPh 21 mencerminkan lebih dari sekadar kewajiban finansial ia menunjukkan komitmen etika dan tata kelola sebuah perusahaan.
Mengabaikan kompleksitas perhitungan pajak penghasilan, terutama untuk level eksekutif, adalah risiko yang tidak perlu diambil. Proses menghitung PPh 21 harus menjadi prioritas.
Dengan menerapkan strategi kompensasi yang tepat, yang mengintegrasikan perencanaan pajak sejak awal, para pimpinan HR dan CEO dapat mengelola remunerasi eksekutif secara lebih efisien.
Lebih dari itu, pendekatan ini secara aktif memperkuat citra perusahaan sebagai pemberi kerja yang bertanggung jawab dan berintegritas. Ini adalah faktor penting dalam menarik dan mempertahankan talenta kepemimpinan terbaik di pasar yang kompetitif, yang peduli pada kepatuhan pajak.
Pada akhirnya, Luminare Consulting hadir untuk membantu organisasi tidak hanya menemukan pemimpin yang tepat, tapi juga memastikan mereka dihargai dengan cara yang taat hukum dan berintegritas.
Karena kepemimpinan sejati dimulai dengan melakukan hal yang benar, bahkan dalam detail seperti pembayaran pajak PPh Pasal 21.
Kesalahan paling umum yang saya temui adalah gagal memasukkan nilai fasilitas atau kenikmatan (natura), seperti mobil atau rumah dinas, ke dalam perhitungan penghasilan bruto saat menghitung PPh 21.
Sejak adanya peraturan terbaru, sebagian besar natura kini menjadi objek pajak, dan mengabaikannya dapat menyebabkan kekurangan pembayaran pajak dan denda yang signifikan.
Saya merekomendasikan untuk menjadwalkan tinjauan triwulanan bersama tim keuangan, HR, dan konsultan pajak eksternal.
Pendekatan proaktif ini memastikan perusahaan Anda selalu mengetahui peraturan pajak terbaru, seperti penerapan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) yang mulai berlaku pada 2024, sehingga dapat menyesuaikan sistem penggajian tepat waktu untuk pembayaran PPh.
Justru sebaliknya. Ketika sebuah paket kompensasi dirancang secara transparan dengan memperhitungkan semua implikasi pajak PPh 21, itu menunjukkan profesionalisme dan integritas perusahaan.
Kandidat eksekutif senior menghargai kejelasan ini karena membantu mereka memahami nilai bersih uang yang akan mereka terima dan menandakan bahwa perusahaan dikelola dengan baik, yang pada akhirnya meningkatkan daya tarik penawaran.
Baca Juga: Panduan Pajak Penghasilan untuk Pekerja Asing dan Karyawan Lokal di Indonesia

